April 30, 2015

Logoterapi (Frankl)

Viktor Emil Frankl adalah seorang dokter ahli saraf dan jiwa keturunan Yahudi yang dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina, Australia. Ketika perang dunia ke-2 pecah tahun 1942, Frankl bersama istri dan orangtuanya termasuk salah satu dari ribuan warga Yahudi yang ditahan oleh tentara Nazi dan dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi.

Di dalam kamp konsentrasi itulah Frankl menyaksikan para tahanan di siksa, di teror, dan di bunuh secara kejam. Ia sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa. Walaupun demikian, di dalam keterbatasannya sebagai manusia, Frankl berusaha turut meringankan penderitaan sesama tahanan, baik secara medis maupun psikologis. Frankl membesarkan hati mereka yang putus asa dan membantu menunjukkan hikmat dan arti hidup walaupun mereka dalam keadaan menderita. Di dalam pengamatan Frankl melihat bahwa dalam keadaan yang mencekam dan penuh dengan penderitaan, ada sebagian tahanan yang tepat menunjukkan sikap tabah, bertahan, dan bahkan berusaha membantu sesama tahanan. Namun, di lain pihak sebagian besar tahanan mengalami putus asa, apatis, dan kehilangan semangat hidup. Tak jarang mereka melakukan bunuh diri untuk membebaskan diri dari penderitaan.

Dari kedua sikap tersebut, Frankl melihat bahwa tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah dan mampu bertahan itu adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka harapan-harapan di mana akan tiba saat pembebasan dan dapat bertemyu kembali dengan anggota-anggota keluarganya, serta meyakini datangnya pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan mereka (meaning in suffering).

KONSEP DASAR LOGOTERAPI

Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Frankl berpendapat bahwa manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan kemudian setelah menemukan mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl yang dinamakan logoterapi.

Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yaitu:
1. Keinginan Akan Makna
Istilah tema utama logoterapi adalah karakteristik eksitensi manusia, dengan makna hidup sebagai inti teori. Menurut Frankl yang paling dicari dan diinginkan manusia dalam hidupnya adalah makna, yaitu makna yang didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang ataupun dalam penderitaan. 

Konsep keinginan kepada makna (the will to meaning) inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia (Frankl, 1977). Sebutan the will to meaning sengaja dibedakan Frankl dengan sebutan the drive to meaning karena makna dan nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push, to drive) tetapi seakan-akan menarik (to pull) dan menawar (to offer) manusia untuk memenuhi kenyataan hidup, yang menurutnya pula tidaklah menyediakan keseimbangan tanpa tegangan, tetapi justru menawarkan suatu tegangan khusus, yaitu tegangan kenyataan diri pada waktu sekarang dan makna-makna yang harus dipenuhi: Bring us to Meaning. Diantara kedua hal itulah proses pengembangan pribadi berlangsung.

2. Kebebasan Berkeinginan
 Konsep kebebasan berkeinginan (freedom of will), mengacu pada kebebasan manusia untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologi, dan sosiokultural. Kualitas ini adalah khas insani yang bukan saja merupakan kemampuan untuk mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi lingkungan, melainkan juga kondisi diri sendiri (self-detachment). Dalam pandangan logoterapi, kebebasan disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan.

3. Makna Hidup
Konsep makna hidup adalah hal-hal yang memberikan arti khusus bagi seseorang yang apabila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga, sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness).
Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun, tetapi harus dicari dan ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat menunjukkan hal-hal yang potensial bermakna, akan tetapi kembali kepada orang itu sendiri untuk menentukan apa yang ditanggapinya.

Makna yang kita cari memerlukan tanggung jawab pribadi. Bukan orang lain atau sesuatu yang lain, bukan orang tua, teman, atau bangsa yang dapat memberi kita pengertian tentang arti dan maksud dalam hidup kita.

UNSUR-UNSUR LOGOTERAPI

1. Munculnya Gangguan
a. Neurosis somatogenik, yaitu gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi
b. Neurosis psikogenik, yaitu gangguan perasaan yang berasal dari hambatan-hambatan psikis
c. Neurosis noogenik, yaitu gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna
 
2. Tujuan Terapi
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahami serta merealisasikan berbagai potensi sumber daya kerohanian yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.

Selain itu, logoterapi juga bertujuan untuk menolong pasien menemukan tujuan dan maksud dalam hidupnya dengan memperlihatkan bernilainya tanggung jawab dan tugas-tugas tertentu. 

3. Peran Terapis
a. Terapis harus menunjukkan kepada klien bahwa setiap manusia mempunyai tujuan yang unik yang dapat tercapai dengan suatu cara tertentu.
b. Terapis berusaha membuat klien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa dia harus bertanggung jawab.
c. Terapis tidak tergoda untuk menghakimi klien-kliennya, karena dia tidak pernah membiarkan seorang klien melemparkan tanggung jawab kepada terapis untuk menghakiminya.

TEKNIK-TEKNIK LOGOTERAPI

1. Teknik Intensi Paradoksikal (Perlawanan Terhadap Niat)
 Teknik ini didasarkan pada dua fakta, yaitu (1) rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan (2) keinginan yang berlebihan bisa membuat keingginan tersebut tidak terlaksana.

Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan objek yang justru ditakutinya. Sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongan agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan agar dorongan-dorongan itu benar-benar mencetus. 

Intensi paradoksikal juga dapat diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien malah tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini, biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur.

 Selain itu, teknik ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra indikasi dengan depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Maksudnya, bila teknik ini diterapkan pada kasus depresi dengan keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menerapkan teknik ini untuk kasus depresi.

2. Derefleksi
 Seperti halnya intensi paradoksikal, teknik derefleksi pun memanfaatkan kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis. Bedanya, jika intensi paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan seakan-akan memandangnya dari luar, maka derefleksi memanfaatkan kemampuan transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.

Frankl kemudian mengatakan bahwa refleksi berlebihan bisa diatasi dengan teknik derefleksi. Sebab, jika intensi paradoksikal dirancang untuk mengatasi kecemasan antisipatori, derefleksi dirancang untuk bisa mengatasi kompulsi kepada observasi diri atau pemaksaan ke arah pengamatan diri sendiri. Dengan demikian, jika intensi paradoksikal menggunakan pola right passivity, derefleksi menggunakan pola right activity.

3. Bimbingan Rohani
 Bimbingan rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi.

Bimbingan rohani kiranya dapat dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna oleh individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya, bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penangan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak mampu lagi untuk berbuat selain menghadapi penderitaan itu.

Melalui bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.

4. Existential Analysis
 Teknik ini sangat luas dan luwes, serta memberikan keleluasaan kepada para logoterapis untuk secara kreatif mengembangkan sendiri metode dan teknik-tekniknya.




Referensi:
Bastaman, H.D.(1996).Meraih Hidup Bermakna.Jakarta: Penerbit Paramadina

Terapi Humanistik Eksistensial (Rollo May)

Salah satu tokoh humanistik eksistensial adalah Rollo May. Selama hampir 50 tahun, pembicara psikologi eksistensial yang terdepan di Amerika Serikat adalah Rollo May. Selama bertahun-tahun menjadi terapis, May telah membangun sudut pandang yang baru mengenai manusia. Pendekatannya tidak didasari oleh penelitian ilmiah yang terkontrol, namun berdasarkan pengalaman klinis. Ia melihat manusia tinggal dalam dunia yang penuh dengan pengalaman masa kini dan akhirnya bertanggung jawab terhadap diri mereka selanjutnya. Pandangan tajam dan analisis mendalam May atas kondisi manusia menjadikannya penulis yang populer di kalangan orang awam dan para psikolog profesional.

May percaya bahwa banyak orang tidak mempunyai cukup keberanian dalam menghadapi takdir mereka dan dalam proses melarikan diri dari hal tersebut, mereka melepaskan kebebasan mereka. Dengan melepaskan kebebasan, mereka juga akan melarikan diri dari tanggung jawab mereka. Dengan tidak mau membuat keputusan dan memilih, mereka kehilangan pandangan tentang siapa diri mereka serta mengembangkan rasa meremehkan sesuatu. Sebaliknya, orang yang sehat akan menghadapi takdirnya, mensyukuri kebebasannya, serta hidup dengan jujur dan wajar bersama orang lain serta dirinya sendiri. Mereka menyadari kematian tidak dapat dihindari dan mempunyai keberanian untuk hidup di masa kini.

Psikologi eksistensial lebih terfokus pada perjuangan individu untuk dapat berfungsi melalui pengalaman hidupnya dan tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya.

KONSEP DASAR TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

 Konsep dasar dari eksistensialisme adalah:
1. Being-in-the-world
Banyak orang menderita kecemasan dan kesedihan yang disebabkan oleh alienasi dari diri mereka atau dunia mereka. Selain itu, mereka juga tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai diri mereka atau merasa terisolasi dari dunia yang terasa berjarak dan asing. Mereka tidak ada kesatuan antara diri dan dunia.

Perasaan terisolasi dan alienasi diri dari dunia tidak hanya diderita oleh individu yang terganggu secara patologis, namun juga oleh kebanyakan individu dalam masyarakat modern. Alieanasi adalah penyakit masa kini dan dimanifestasikan dalam tiga area, yaitu (1) keterpisahan dari alam, (2) kurangnya hubungan interpersonal yang berarti, dan (3) keterasingan dari diri yang autentik. Dengan demikian, manusia mengalami tiga bentuk being-in-the-world yang terjadi bersamaan, yaitu Umwelt (lingkungan disekitar kita), Mitwelt (hubungan kita dengan orang lain), dan Eigenwelt (hubungan kita dengan diri sendiri).

Umwelt adalah dunia objek dan benda dan akan tetap ada walaupun manusia tidak memiliki kesadaran. Umwelt adalah dunia alam dan hukum alam, termasuk dorongan biologis seperti rasa lapar dan dorongan untujk tidur, serta fenomena alami seperti kelahiran dan kematian. Kita tidak dapat lari dari Umwelt. Kita harus belajar untuk hidup dalam dunia yang ada di sekitar kita dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam dunia ini.

Namun, kita tidak hanya hidup di Umwelt. Kita juga hidup di dalam dunia yang penuh dengan manusia, yaitu Mitwelt. Kita harus berhubungan dengan manusia sebagai manusia, bukan sebagai benda. Apabila kita memperlakukan manusia sebagai objek, maka kita sesungguhnya hanya hidup di Umwelt. Perbedaan antara Umwelt dan Mitwelt dapat dilihat dengan membedakan antara seks dan cinta. Apabila seseorang menggunakan orang lain sebagai instrumen untuk kepuasan seksual, maka orang tersebut hidup di Umwelt. Akan tetapi, cinta menuntut seseorang untuk berkomitmen dengan orang lain. Mencintai berarti menghormati being-in-the-world pihak satunya, sebuah penerimaan tidak bersyarat untuk orang tersebut. Tetapi, tidak semua hubungan Mitwelt mengharuskan adanya cinta.

Eigenwelt merujuk pada hubungan seseorang terhadap dirinya sendiri. Bentuk being-in-the-world ini adalah dunia yang biasanya tidak dijelajahi oleh pakar teori kepribadian. Untuk hidup dalam Eigenwelt, berarti untuk sadar atas dirinya sendiri sebagai manusia dan memahami siapa diri kita saat berhubungan dengan dunia kebendaan dan dunia manusia. 

Orang yang sehat hidup dalam Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt secara bersamaan. Mereka beradaptasi dengan dunia alam, berhubungan dengan orang lain sebagai manusia dan mempunyai kesadaran yang antusias atas apa arti dari semua pengalaman ini untuk mereka.

2. Nonbeing
Being-in-the-world membutuhkan sebuah kesadaran atas diri sebagai makhluk yang hidup dan berkembang. Kesadaran ini kemudian dapat juga berakibat akan ketiadaan, yaitu nonbeing atau kehampaan. 
Saat kita tidak berani menghadapi nonbeing kita dengan mengontemplasikan kematian, kita tetap saja akan menghadapi nonbeing dalam bentuk lain, termasuk kecanduan terhadap alkohol dan obat-obatan lain, aktivitas seksual yang bebas, serta perilaku kompulsif lainnya. Nonbeing juga dapat diekspresikan sebagai konformitas buta terhadap ekspektasi masyarakat atau sikap bermusuhan yang akan merusak hubungan kita dengan orang lain.

May (1991) mengatakan, "kita takut terhadap nonbeing sehingga mengerutkan keberadaan kita". Kita lari dari membuat pilihan yang aktif, yaitu membuat keputusan tapa mempertimbangkan siapa diri kita dan apa yang kita mau. Kita dapat mencoba menghindari ketakutan atas nonbeing dengan meredupkan kesadaran diri dan menyangkal individualitas kita, namun pilihan seperti itu meninggalkan perasaan sedih dan kekosongan. Dengan demikian, kita melarikan diri dari ketakutan kita atas nonbeing dengan resiko suatu eksistensi yang terbatas. Alternatif yang lebih sehat adalah menghadapi kematian sebagai hal yang tidak dapat dihindari dan menyadari bahwa nonbeing adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari keberadaan.

UNSUR-UNSUR TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

1. Munculnya Gangguan
Dalam buku The Meaning of Anxiety, May menyatakan bahwa banyak perilaku manusia memiliki motivasi dari landasan rasa takut dan kecemasan. Kegagalan untuk menghadapi kematian, bertindak sebagai pelarian sementara dari kecemasan dan ketakutan atas nonbeing, namun pelarian tersebut tidak akan menjadi permanen. Kematian adalah sesuatu yang pasti ada dalam kehidupan, yang cepat atau lambat harus dihadapi semua orang.

Manusia mengalami kecemasan saat mereka sadar bahwa eksistensinya terancam hancur atau rusak. May mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi subjektif ketika seseorang nenyadari bahwa eksistensinya dapat dihancurkan dan ia dapat menjadi 'bukan apa-apa' (nothing). Kecemasan dapat muncul dari kesadaran atas nonbeing seseorang atau dari ancaman atas nilai-nilai yang dianggap penting untuk eksistensi seseorang. 

Kecemasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Kecemasan Normal
b. Kecemasan Neurotik

2. Tujuan Terapi
May menyarankan bahwa terapi ini bertujuan untuk membuat manusia menjadi lebih manusiawi, membantu mereka memperluas kesadaran mereka supaya mereka akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk dapat membuat keputusan. Selain itu, May juga yakin bahwa tujuan psikoterapi adalah untuk membebaskan manusia dan harus lebih terfokus pada membantu orang lain mengalami eksistensi mereka.

3. Peran Terapis
Terapis dan klien harus membangun hubungan satu-lawan-satu (Mitwelt) yang membuat klien mampu untuk lebih sadar akan dirinya dan hidup sepenuhnya dalam dunia mereka sendiri (Eigenwelt). Kemudian juga membangun pertemuan 'saya-Anda' (I-thou), yaitu ketika terapis maupun klien dipandang sebagai subjek dan bukan objek. Di dalam hubungan I-thou, terapis memiliki empati atas pengalaman klien dan terbuka atas dunia subjektif dari klien.

TEKNIK-TEKNIK TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

May tidak banyak memiliki arahan-arahan spesifik untuk diikuti. Terapis eksistensial tidak mempunyai satu set teknik atau metode khusus yang dapat diaplikasikan kepada semua klien. Justru, mereka hanya memiliki diri mereka dan kemanusiaan mereka untuk ditawarkan.

Didalam praktiknya, May akan lebih banyak memberikan pertanyaan untuk masuk ke dalam masa kanak-kanak klien dan untuk memberi saran atas kemungkinan-kemungkinan makna dari perilakunya saat ini.




Referensi:
Feist, J. & Feist, G. J.(2013).Teori Kepribadian.Jakarta: Salemba Humanika

April 29, 2015

Person-Centered Therapy (Carl Rogers)

Carl Rogers paling dikenal sebagai pencetus terapi yang berpusat pada pribadi (person-centered therapy) Tidak seperti Freud yang pada dasarnya merupakan seorang pakar teori dan menjadikan terapis sebagai kegiatan sekunder, Rogers merupakan terapis yang sempurna, namun tidak terlalu menyukai teori. Rogers lebih tertarik untuk membantu orang lain daripada mencari tahu mengapa mereka melakukan suatu perilaku. Ia akan lebih bertanya mengenai "bagaimana saya dapat membantu orang ini untuk tumbuh dan berekembang?" daripada memikirkan tentang pertanyaan "apa yang menyebabkan orang ini berkembang seperti dengan cara seperti ini?".

Seperti kebanyakan pakar teori kepribadian, Rogers membangun teorinya berdasarkan landasan yang diperolehnya sebagai terapis. Tidak seperti sebagian besar pakar teori lainnya, Rogers secara berkesinambungan melakukan penelitian empiris untuk mendukung teori perkembangannya maupun pendekatan terapinya. Mungkin lebih dari para pakar teori terapis lainnya, Rogers menunjukkan keseimbangan antara pemikiran yang tidak kaku dan studi yang rasional yang dapat memperluas pengetahuan tentang bagaimana manusia merasa dan berpikir.

Selama tahun 1950-an yang merupakan titik tengah karirnya, Rogers diminta untuk menulis tentang apa yang kelak akan disebut dengan teori kepribadian "yang berpusat pada pribadi".

Pada tahun-tahun awal sekitar tahun 1940-an, pendekatan yang dilakukan Rogers dikenal sebagai nondirective, istilah tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan namanya dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, pendekatan tersebut memakai beragam istilah, antara lain pendekatan yang berpusat pada klien (client-centered), yang berpusat pada pribadi (person-centered), yang berpusat pada siswa (student-centered), yang berpusat pada kelompok (group-centered), dan person-to-person. Namun, yang digunakan adalah penamaan yang berpusat pada klien untuk merujuk terapi Rogers dan istilah yang lebih luas, yaitu person-centered untuk merujuk pada teori kepribadian Rogers.

Konsep Dasar Person-Centered Therapy 

 Pendekatan person-centered therapy menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan. Konsep dasar dari terapi ini adalah hal-hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self) dan aktualisasi diri.

Menurut Rogers (1959), bayi mulai mengembangkan konsep diri yang samar saat sebagian pengalaman mereka telah dipersonalisasikan dan dibedakan dalam kesadaran pengalaman sebagai "aku" (I) atau "diriku" (me). Kemudian, bayi secara bertahap menjadi sadar akan identitasnya sendiri saat mereka belajar apa yang terasa baik dan terasa buruk, apa yang terasa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Selanjutnya, mereka mulai untuk mengevaluasi pengalaman mereka sebagai pengalaman positif dan negatif, menggunakan kecenderungan aktualisasi sebagai kriteria.

Saat bayi telah membangun struktur diri yang mendasar, kecenderungan mereka untuk aktualisasi mulai berkembang. Aktualisasi diri merupakan bagian dari kecenderungan aktualisasi sehingga tidak sama dengan kecenderungan itu sendiri. Secara singkat, aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk  mengaktualisasikan diri sebagaimana yang dirasakan dalam kesadaran. Rogers mengajukan dua subsistem, yaitu konsep diri (self-concept) dan diri ideal (ideal-self).

Konsep Diri
Konsep diri meliputi seluruh aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individu tersebut. Konsep diri tidak identik dengan diri organismik. Bagian-bagian diri organismik berada di luar kesadaran seseorang atau tidak dimiliki oleh orang tersebut.

Saat manusia sudah membentuk konsep dirinya, ia akan menemukan kesulitan dalam menerima perubahan dan pembelajaran yang penting. Pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri mereka biasanya disangkal atau hanya diterima dengan bentuk yang telah didistorsi atau diubah.

Diri Ideal
Diri ideal didefinisikan sebagai pandangan seseorang atas diri sebagaimana yang diharapkannya. Diri ideal meliputi semua atribut, biasanya yang positif, yang ingin dimiliki oleh seseorang. Perbedaan yang besar antara diri ideal dengan konsep diri mengindikasikan inkongruensi dan merupakan kepribadian yang tidak sehat. Individu yang sehat secara psikologis akan mellihat sedikit perbedaan antara konsep dirinya dengan apa yang mereka inginkan secara ideal.

Unsur-Unsur Person-Centered Therapy

1. Munculnya Gangguan 
Hambatan atas pertumbuhan psikologis terjadi saat seseorang mengalami penghargaan bersyarat,  inkongruensi, sikap defensif, dan disorganisasi.

Penghargaan bersyarat dapat berakibat pada kerentanan, kecemasan, dan ancaman serta menghambat manusia dari merasakan penerimaan positif yang tidak bersyarat. Inkongruensi berkembang saat diri orgasmik dan diri yang dirasakan tidak selaras. Saat diri organismik dan diri yang dirasakan tidak kongruen, manusia cenedrung menjadi defensif serta menggunakan distorsi dan penyangkalan sebagai usaha untuk mengurangi inkongruensi. Manusia yang mengalami disorganisasi saat distorsi dan penyangkalan tidak cukup untuk menahan inkongruensi. Orang-orang yang cenderung tidak menyadari inkongruensi mereka, memungkinkan untuk merasa lebih cemas, terancam, dan defensif.

2. Tujuan Terapi
 Rogers (1980) memberikan penjelasan sesuai dengan logika bahwa ketika seseorang merasakan sendiri bahwa mereka dihargai dan diterima tanpa syarat, mereka menyadari bahwa mungkin untuk pertama kalinya mereka dapat dicintai. Sehingga, tujuan dari person-centered therapy adalah untuk membuat klien/pribadi seseorang dapat menghargai dan menerima diri mereka sendiri dan untuk mempunyai penerimaan positif yang tidak bersyarat terhadap diri mereka. 

3. Peran Terapis
Dalam pandangan Rogers, konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya. Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.

Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan iklim atau kondisi yang mampu menumbuhkan hubungan konseling.

Selain peranan diatas, peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara optimal, dengan cara menciptakan hubungan konseling yang hangat. Dalam suasana yang demikian, konselor merupakan agen pembangunan yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.

TEKNIK-TEKNIK PERSON-CENTERED THERAPY

Secara garis besar, teknik-teknik dalam person-centered therapy adalah:
1. Konselor menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala kondisi
2. Konselor menjadi seorang pendengar yang sabar dan peka serta dapat meyakinkan klien bahwa dia diterima dan dipahami
3. Konselor memungkinkan klien untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur, lebih memahami diri sendiri, dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakunya.


Referensi:
Feist, J & Feist, G. J.(2013).Teori Kepribadian.Jakarta: Salemba Humanika
Latipun.(2008).Psikologi Konseling.Malang: UMM Press
Prayitno & Amti. E.(2004).Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling.Jakarta: Rineka Cipta