Viktor Emil Frankl adalah seorang dokter ahli saraf dan jiwa keturunan Yahudi yang dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina, Australia. Ketika perang dunia ke-2 pecah tahun 1942, Frankl bersama istri dan orangtuanya termasuk salah satu dari ribuan warga Yahudi yang ditahan oleh tentara Nazi dan dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi.
Di dalam kamp konsentrasi itulah Frankl menyaksikan para tahanan di siksa, di teror, dan di bunuh secara kejam. Ia sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa. Walaupun demikian, di dalam keterbatasannya sebagai manusia, Frankl berusaha turut meringankan penderitaan sesama tahanan, baik secara medis maupun psikologis. Frankl membesarkan hati mereka yang putus asa dan membantu menunjukkan hikmat dan arti hidup walaupun mereka dalam keadaan menderita. Di dalam pengamatan Frankl melihat bahwa dalam keadaan yang mencekam dan penuh dengan penderitaan, ada sebagian tahanan yang tepat menunjukkan sikap tabah, bertahan, dan bahkan berusaha membantu sesama tahanan. Namun, di lain pihak sebagian besar tahanan mengalami putus asa, apatis, dan kehilangan semangat hidup. Tak jarang mereka melakukan bunuh diri untuk membebaskan diri dari penderitaan.
Dari kedua sikap tersebut, Frankl melihat bahwa tahanan yang tetap menunjukkan sikap tabah dan mampu bertahan itu adalah mereka yang berhasil mengembangkan dalam diri mereka harapan-harapan di mana akan tiba saat pembebasan dan dapat bertemyu kembali dengan anggota-anggota keluarganya, serta meyakini datangnya pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan, berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari penderitaan mereka (meaning in suffering).
KONSEP DASAR LOGOTERAPI
Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Frankl berpendapat bahwa manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan kemudian setelah menemukan mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl yang dinamakan logoterapi.
Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yaitu:
1. Keinginan Akan Makna
Istilah tema utama logoterapi adalah karakteristik eksitensi manusia,
dengan makna hidup sebagai inti teori. Menurut Frankl yang paling dicari
dan diinginkan manusia dalam hidupnya adalah makna, yaitu makna yang
didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang ataupun dalam
penderitaan.
Konsep keinginan kepada makna (the will to meaning) inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia (Frankl, 1977). Sebutan the will to meaning sengaja dibedakan Frankl dengan sebutan the drive to meaning karena makna dan nilai-nilai hidup tidak mendorong (to push, to drive) tetapi seakan-akan menarik (to pull) dan menawar (to offer) manusia untuk memenuhi kenyataan hidup, yang menurutnya pula tidaklah menyediakan keseimbangan tanpa tegangan, tetapi justru menawarkan suatu tegangan khusus, yaitu tegangan kenyataan diri pada waktu sekarang dan makna-makna yang harus dipenuhi: Bring us to Meaning. Diantara kedua hal itulah proses pengembangan pribadi berlangsung.
2. Kebebasan Berkeinginan
Konsep kebebasan berkeinginan (freedom of will), mengacu pada kebebasan manusia untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologi, dan sosiokultural. Kualitas ini adalah khas insani yang bukan saja merupakan kemampuan untuk mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi lingkungan, melainkan juga kondisi diri sendiri (self-detachment). Dalam pandangan logoterapi, kebebasan disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan.
3. Makna Hidup
Konsep makna hidup adalah hal-hal yang memberikan arti khusus bagi seseorang yang apabila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga, sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness).
Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun, tetapi harus dicari dan ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat menunjukkan hal-hal yang potensial bermakna, akan tetapi kembali kepada orang itu sendiri untuk menentukan apa yang ditanggapinya.
Makna yang kita cari memerlukan tanggung jawab pribadi. Bukan orang lain atau sesuatu yang lain, bukan orang tua, teman, atau bangsa yang dapat memberi kita pengertian tentang arti dan maksud dalam hidup kita.
UNSUR-UNSUR LOGOTERAPI
1. Munculnya Gangguan
a. Neurosis somatogenik, yaitu gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi
b. Neurosis psikogenik, yaitu gangguan perasaan yang berasal dari hambatan-hambatan psikis
c. Neurosis noogenik, yaitu gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna
2. Tujuan Terapi
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahami serta merealisasikan berbagai potensi sumber daya kerohanian yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.
Selain itu, logoterapi juga bertujuan untuk menolong pasien menemukan tujuan dan maksud dalam hidupnya dengan memperlihatkan bernilainya tanggung jawab dan tugas-tugas tertentu.
3. Peran Terapis
a. Terapis harus menunjukkan kepada klien bahwa setiap manusia mempunyai tujuan yang unik yang dapat tercapai dengan suatu cara tertentu.
b. Terapis berusaha membuat klien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa dia harus bertanggung jawab.
c. Terapis tidak tergoda untuk menghakimi klien-kliennya, karena dia tidak pernah membiarkan seorang klien melemparkan tanggung jawab kepada terapis untuk menghakiminya.
TEKNIK-TEKNIK LOGOTERAPI
1. Teknik Intensi Paradoksikal (Perlawanan Terhadap Niat)
Teknik ini didasarkan pada dua fakta, yaitu (1) rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan (2) keinginan yang berlebihan bisa membuat keingginan tersebut tidak terlaksana.
Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan objek yang justru ditakutinya. Sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongan agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan agar dorongan-dorongan itu benar-benar mencetus.
Intensi paradoksikal juga dapat diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien malah tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini, biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur.
Selain itu, teknik ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra indikasi dengan depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Maksudnya, bila teknik ini diterapkan pada kasus depresi dengan keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menerapkan teknik ini untuk kasus depresi.
2. Derefleksi
Seperti halnya intensi paradoksikal, teknik derefleksi pun memanfaatkan kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis. Bedanya, jika intensi paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan seakan-akan memandangnya dari luar, maka derefleksi memanfaatkan kemampuan transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.
Frankl kemudian mengatakan bahwa refleksi berlebihan bisa diatasi dengan teknik derefleksi. Sebab, jika intensi paradoksikal dirancang untuk mengatasi kecemasan antisipatori, derefleksi dirancang untuk bisa mengatasi kompulsi kepada observasi diri atau pemaksaan ke arah pengamatan diri sendiri. Dengan demikian, jika intensi paradoksikal menggunakan pola right passivity, derefleksi menggunakan pola right activity.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi.
Bimbingan rohani kiranya dapat dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna oleh individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya, bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penangan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak mampu lagi untuk berbuat selain menghadapi penderitaan itu.
Melalui bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.
4. Existential Analysis
Teknik ini sangat luas dan luwes, serta memberikan keleluasaan kepada para logoterapis untuk secara kreatif mengembangkan sendiri metode dan teknik-tekniknya.
Referensi:
Bastaman, H.D.(1996).Meraih Hidup Bermakna.Jakarta: Penerbit Paramadina
No comments:
Post a Comment