April 30, 2015

Terapi Humanistik Eksistensial (Rollo May)

Salah satu tokoh humanistik eksistensial adalah Rollo May. Selama hampir 50 tahun, pembicara psikologi eksistensial yang terdepan di Amerika Serikat adalah Rollo May. Selama bertahun-tahun menjadi terapis, May telah membangun sudut pandang yang baru mengenai manusia. Pendekatannya tidak didasari oleh penelitian ilmiah yang terkontrol, namun berdasarkan pengalaman klinis. Ia melihat manusia tinggal dalam dunia yang penuh dengan pengalaman masa kini dan akhirnya bertanggung jawab terhadap diri mereka selanjutnya. Pandangan tajam dan analisis mendalam May atas kondisi manusia menjadikannya penulis yang populer di kalangan orang awam dan para psikolog profesional.

May percaya bahwa banyak orang tidak mempunyai cukup keberanian dalam menghadapi takdir mereka dan dalam proses melarikan diri dari hal tersebut, mereka melepaskan kebebasan mereka. Dengan melepaskan kebebasan, mereka juga akan melarikan diri dari tanggung jawab mereka. Dengan tidak mau membuat keputusan dan memilih, mereka kehilangan pandangan tentang siapa diri mereka serta mengembangkan rasa meremehkan sesuatu. Sebaliknya, orang yang sehat akan menghadapi takdirnya, mensyukuri kebebasannya, serta hidup dengan jujur dan wajar bersama orang lain serta dirinya sendiri. Mereka menyadari kematian tidak dapat dihindari dan mempunyai keberanian untuk hidup di masa kini.

Psikologi eksistensial lebih terfokus pada perjuangan individu untuk dapat berfungsi melalui pengalaman hidupnya dan tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya.

KONSEP DASAR TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

 Konsep dasar dari eksistensialisme adalah:
1. Being-in-the-world
Banyak orang menderita kecemasan dan kesedihan yang disebabkan oleh alienasi dari diri mereka atau dunia mereka. Selain itu, mereka juga tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai diri mereka atau merasa terisolasi dari dunia yang terasa berjarak dan asing. Mereka tidak ada kesatuan antara diri dan dunia.

Perasaan terisolasi dan alienasi diri dari dunia tidak hanya diderita oleh individu yang terganggu secara patologis, namun juga oleh kebanyakan individu dalam masyarakat modern. Alieanasi adalah penyakit masa kini dan dimanifestasikan dalam tiga area, yaitu (1) keterpisahan dari alam, (2) kurangnya hubungan interpersonal yang berarti, dan (3) keterasingan dari diri yang autentik. Dengan demikian, manusia mengalami tiga bentuk being-in-the-world yang terjadi bersamaan, yaitu Umwelt (lingkungan disekitar kita), Mitwelt (hubungan kita dengan orang lain), dan Eigenwelt (hubungan kita dengan diri sendiri).

Umwelt adalah dunia objek dan benda dan akan tetap ada walaupun manusia tidak memiliki kesadaran. Umwelt adalah dunia alam dan hukum alam, termasuk dorongan biologis seperti rasa lapar dan dorongan untujk tidur, serta fenomena alami seperti kelahiran dan kematian. Kita tidak dapat lari dari Umwelt. Kita harus belajar untuk hidup dalam dunia yang ada di sekitar kita dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam dunia ini.

Namun, kita tidak hanya hidup di Umwelt. Kita juga hidup di dalam dunia yang penuh dengan manusia, yaitu Mitwelt. Kita harus berhubungan dengan manusia sebagai manusia, bukan sebagai benda. Apabila kita memperlakukan manusia sebagai objek, maka kita sesungguhnya hanya hidup di Umwelt. Perbedaan antara Umwelt dan Mitwelt dapat dilihat dengan membedakan antara seks dan cinta. Apabila seseorang menggunakan orang lain sebagai instrumen untuk kepuasan seksual, maka orang tersebut hidup di Umwelt. Akan tetapi, cinta menuntut seseorang untuk berkomitmen dengan orang lain. Mencintai berarti menghormati being-in-the-world pihak satunya, sebuah penerimaan tidak bersyarat untuk orang tersebut. Tetapi, tidak semua hubungan Mitwelt mengharuskan adanya cinta.

Eigenwelt merujuk pada hubungan seseorang terhadap dirinya sendiri. Bentuk being-in-the-world ini adalah dunia yang biasanya tidak dijelajahi oleh pakar teori kepribadian. Untuk hidup dalam Eigenwelt, berarti untuk sadar atas dirinya sendiri sebagai manusia dan memahami siapa diri kita saat berhubungan dengan dunia kebendaan dan dunia manusia. 

Orang yang sehat hidup dalam Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt secara bersamaan. Mereka beradaptasi dengan dunia alam, berhubungan dengan orang lain sebagai manusia dan mempunyai kesadaran yang antusias atas apa arti dari semua pengalaman ini untuk mereka.

2. Nonbeing
Being-in-the-world membutuhkan sebuah kesadaran atas diri sebagai makhluk yang hidup dan berkembang. Kesadaran ini kemudian dapat juga berakibat akan ketiadaan, yaitu nonbeing atau kehampaan. 
Saat kita tidak berani menghadapi nonbeing kita dengan mengontemplasikan kematian, kita tetap saja akan menghadapi nonbeing dalam bentuk lain, termasuk kecanduan terhadap alkohol dan obat-obatan lain, aktivitas seksual yang bebas, serta perilaku kompulsif lainnya. Nonbeing juga dapat diekspresikan sebagai konformitas buta terhadap ekspektasi masyarakat atau sikap bermusuhan yang akan merusak hubungan kita dengan orang lain.

May (1991) mengatakan, "kita takut terhadap nonbeing sehingga mengerutkan keberadaan kita". Kita lari dari membuat pilihan yang aktif, yaitu membuat keputusan tapa mempertimbangkan siapa diri kita dan apa yang kita mau. Kita dapat mencoba menghindari ketakutan atas nonbeing dengan meredupkan kesadaran diri dan menyangkal individualitas kita, namun pilihan seperti itu meninggalkan perasaan sedih dan kekosongan. Dengan demikian, kita melarikan diri dari ketakutan kita atas nonbeing dengan resiko suatu eksistensi yang terbatas. Alternatif yang lebih sehat adalah menghadapi kematian sebagai hal yang tidak dapat dihindari dan menyadari bahwa nonbeing adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari keberadaan.

UNSUR-UNSUR TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

1. Munculnya Gangguan
Dalam buku The Meaning of Anxiety, May menyatakan bahwa banyak perilaku manusia memiliki motivasi dari landasan rasa takut dan kecemasan. Kegagalan untuk menghadapi kematian, bertindak sebagai pelarian sementara dari kecemasan dan ketakutan atas nonbeing, namun pelarian tersebut tidak akan menjadi permanen. Kematian adalah sesuatu yang pasti ada dalam kehidupan, yang cepat atau lambat harus dihadapi semua orang.

Manusia mengalami kecemasan saat mereka sadar bahwa eksistensinya terancam hancur atau rusak. May mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi subjektif ketika seseorang nenyadari bahwa eksistensinya dapat dihancurkan dan ia dapat menjadi 'bukan apa-apa' (nothing). Kecemasan dapat muncul dari kesadaran atas nonbeing seseorang atau dari ancaman atas nilai-nilai yang dianggap penting untuk eksistensi seseorang. 

Kecemasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Kecemasan Normal
b. Kecemasan Neurotik

2. Tujuan Terapi
May menyarankan bahwa terapi ini bertujuan untuk membuat manusia menjadi lebih manusiawi, membantu mereka memperluas kesadaran mereka supaya mereka akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk dapat membuat keputusan. Selain itu, May juga yakin bahwa tujuan psikoterapi adalah untuk membebaskan manusia dan harus lebih terfokus pada membantu orang lain mengalami eksistensi mereka.

3. Peran Terapis
Terapis dan klien harus membangun hubungan satu-lawan-satu (Mitwelt) yang membuat klien mampu untuk lebih sadar akan dirinya dan hidup sepenuhnya dalam dunia mereka sendiri (Eigenwelt). Kemudian juga membangun pertemuan 'saya-Anda' (I-thou), yaitu ketika terapis maupun klien dipandang sebagai subjek dan bukan objek. Di dalam hubungan I-thou, terapis memiliki empati atas pengalaman klien dan terbuka atas dunia subjektif dari klien.

TEKNIK-TEKNIK TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

May tidak banyak memiliki arahan-arahan spesifik untuk diikuti. Terapis eksistensial tidak mempunyai satu set teknik atau metode khusus yang dapat diaplikasikan kepada semua klien. Justru, mereka hanya memiliki diri mereka dan kemanusiaan mereka untuk ditawarkan.

Didalam praktiknya, May akan lebih banyak memberikan pertanyaan untuk masuk ke dalam masa kanak-kanak klien dan untuk memberi saran atas kemungkinan-kemungkinan makna dari perilakunya saat ini.




Referensi:
Feist, J. & Feist, G. J.(2013).Teori Kepribadian.Jakarta: Salemba Humanika

No comments:

Post a Comment